Sebuah Magis Bahasa, Sastra hingga Kerusakan Alam
SANTAIREKOMENDASI
Salsabila
10/4/20256 min baca


Sebagai seorang yang lahir dan hidup tak percaya dengan kisah magis atau horor semata jadi hal tabu dengan pembahasan ini. Saya dibangun jadi pribadi yang harus selalu bertanya dan berpikir logis. Saya bukan tak percaya atas hal-hal lain yang hanya bisa dirasakan. Saya terbiasa dengan hal logis dan selalu mempertanyakan ini. Bahkan, saya tidak pernah percaya bahwa "mereka" yang hidup berdampingan dengan kita juga bisa ambil andil dalam jalannya alam semesta. Walau demikian, saya mulai mengenal satu hal, bahwa reportase yang membahas tentang magis ini dapat saya temukan dan sebenarnya bisa sangat relevan dengan kondisi masyarakat kini. Malam itu, sebuah buku saya dapatkan, saya dapatkan pula kisah dan cerita mereka.
Oktober sebagai Bulan Bahasa
Oktober jadi bulan bahasa tampaknya baru saya tahu 2 tahun terakhir. Selain jadi bulan terakhir setiap tahunnya, bulan ini juga terkadang jadi refleksi kembali dari resolusi yang pernah kita buat ketika awal tahun tiba. Walau demikian, bulan ini ternyata juga jadi bulan literasi. Pemahaman literasi nampaknya bisa beragam dari yang kita tahu. Bahkan, makna literasi sudah sering ditemui sejak anak-anak usia dini. Seperti pojok literasi, tes literasi, ruang literasi atau apapun itu.
Literasi memang sangat dekat dengan kehidupan kita. Walau memang dari segala tes yang dilakukan tingkat literasi masyarakat negeri ini masih tergolong rendah. Walau demikian, usaha untuk peningkatan literasi jadi hal yang dapat diberi acungan jempol. Dan semoga tingkat literasi itu benar-benar jadi lebih baik. Bukan dari segi kuantitas saja, tapi hingga kualitasnya.
Literasi juga jadi tolak ukur tentang majunya sebuah peradaban manusia. Siapa yang dapat paham dan memahami bacaan dengan baik dirinya juga dapat menjalankan kehidupan dengan baik. Menyoal pemahaman bacaan ini sedikit membuat saya miris. Saya yang juga punya profesi sebagai guru Sekolah Dasar ini kadang memicingkan mata melihat kemampuan membaca anak-anak saat ini.
Membaca jadi salah satu indikator dalam literasi tadi. Membaca juga dapat saya artikan sebagai pintu gerbang dalam sebuah literasi. Kita tak akan memahami sebuah teks dari membaca. Kita tak akan bisa menarik kesimpulan jika tak membaca. Dan kita juga tak bisa menyelesaikan permasalahan tanpa membaca.
Sekilas Sidji Cinta Bahasa
Dalam menumbuhkan rasa cinta terhadap literasi tadi, ada juga salah satu usaha dilakukan oleh pihak swasta. Sidji Cinta Bahasa, hadir setiap Oktobernya untuk menarik para anak muda untuk berliterasi tadi. Sidji Cinta Bahasa bukan hanya kegiatan monolog atau seminar yang tegang. Tapi bagaimana mengenal bahasa dengan cara mencintai.
Bagaimana cara menumbuhkan literasi dengan rasa dalam diri. Hotel Sidji sebagai pionir dalam kegiatan ini. Di setiap tahun ketika bulan Oktober tiba, mereka mendatangkan kebanggaan para pemuda. Membuat sebuah literasi dekat dengan para kaum muda dan mau menerimanya secara sukarela. Membuat musik sebagai satu cara, bahwa isu sosial sebenarnya bisa sangat erat kaitannya dengan kehidupan kita.
Mengolah Bahasa hingga Sastra dalam Kehidupan Kita
Sidji cinta bahasa hanya satu dari banyaknya cara mengolah bahasa dalam hidup ini. Hadir melakui kedamaian dan rasa gelisah, acara ini menarik para pemuda. Mendatangkan mereka yang sudah anak muda kenal, tetapi lebih dikenal dengan gelisahnya pada sebuah sistem kehidupan.
Sama seperti tahun ini, Nosstress band anak muda dari Bali yang mengangkat isu perubahan iklim hadir sebagai salah satu narasumber dan juga guest star dalam Sidji Cinta Bahasa 2025 yang didukung penuh oleh Mercy Corp Indonesia. Dan memang tampaknya benar, bahwa di tahun ini kita tidak boleh lepas dengan salah satu isu krusial, yaitu perubahan iklim.
Nosstress melalui keahlian mereka menyuarakan kegelisahan tentang perubahan iklim melalui lagu-lagunya. Lirik yang mereka buat sarat makna akan hubungan manusia dengan alam-Nya. Alam yang aslinya hanya titipan untuk manusia ini, dan pasti akan diambil oleh sang pemilik kapanpun dan dengan cara apapun.
Band ini tampaknya bukan hanya menyumbang lagu tentang kehidupan manusia dan alam. Melalui suara dan sikap mereka punya tujuan besar yaitu mengajak pendengarnya untuk sadar, bahwa persoalan alam bukan hanya prediksi saja. Tapi sudah jadi hal nyata. Saya masih ingat betul raut wajah Angga salah satu personel Nosstress menceritakan tentang kondisi Bali terakhir kali. Saat itu Bali memang baru saja mengalami duka mendalam, banjir bandang menerjang Bali beberapa hari sebelum mereka datang ke Pekalongan si kota langganan banjir ini.
Sastra dan kedekatan manusia dengan alam
Kisah lainnya saya dapatkan dari Titah Aw seorang jurnalis yang ternyata penulis buku dengan cover yang menarik itu. Saya pernah melihat bukunya terpampang di rak buku sekretariat LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) kala itu. Saya ingat betul ketika pulang dari piknik di Jogja pengurus LPM membawa banyak sekali buku dengan berbagai cover yang menarik. Ketika melihatnya saya bertanya apakah mereka merampok toko buku di Jogja, ataukah mereka terlalu haus karena di Kota Ini tak ada banyak buku seperti itu.
"Parade Hantu Siang Bolong" tertulis di bagian bawah buku itu. Diatasnya ada banyak makhluk aneh yang pastinya dimaksudkan sebagai hantu-hantu dengan latar belakang cerah menunjukkan seperti gambar ini diambil siang hari. Hanya beberapa hantu yang aku tahu seperti tuyul dan kuntilanak yang ada di rombongan parade hantu ini. Dahulu, yang saya tahu buku ini adalah novel tentang hantu. Tapi saya tak menyangka bahwa ini adalah buku jurnalistik magis.
Buku ini sama sekali tak membahas tentang klenik atau unsur magis lain yang tak bisa dibantah. Buku ini seperti sebuah perjalanan manusia. Lebih tepatnya perjalanan mereka yang hidup di Indonesia. Dengan kepercayaan terhadap unsur imaterial yang ada dibalut dengan sebuah unsur jurnalisme yang kuat. Dan saya sangat berterimakasih untuk menemukan buku ini lagi saya tak harus pergi ke kantor sekretariat LPM yang sudah saya tinggalkan cukup lama. Mba Titah, dengan senang hati memberinya ke saya dengan bubuhan tanda tangannya juga malam itu.
Selain mendapat sebuah buku dengan unsur magis tingkat dewa, saya juga mendengar ceritanya dengan seksama tentang bagaimana hidup dalam masyarakat yang mengedepankan unsur magis tadi. Dan walau hidup saat ini dapat dijelaskan secara ilmiah, tetapi kekuatan lain tak dapat diragukan sebelah mata. Dan coba jadikan unsur magis yang Indonesia miliki ini jadi usaha dari sebuah pencegahan krisis iklim yang semakin parah.
Manusia, Alam dan Kerukunannya?
Selain kedua narasumber tadi, kegiatan Sidji Cinta Bahasa juga menghadirkan narasumber lain seperti Sapta Hudaya, kreator dokumenter dan juga Haidar sebagai pendiri Lingkar Kajian Kota Pekalongan. Tak lupa diskusi malam itu dipimpin oleh Tomi Wibisono pendiri Buku Akik, toko buku yang tampaknya kala itu dijarah oleh pengurus LPM.
Sebelum diskusi dimulai, kami disuguhi film dokumenter dari Mercy Corp Indonesia yang sebenarnya sudah saya lihat kondisinya secara langsung dua tahun silam. Lokasi pengambilan gambar film itu sudah lama saya kunjungi dengan tujuan penulisan indepth reporting. Tapi karena satu dan lain hal, hasil reportase kala itu hanya mengendap di laptop. Bahkan kini, laptop saya jadi sedimentasi tanah yang sulit sekali diajak kerjasama.
Walau demikian, ingatan saya akan tempat itu masih terekam jelas. Jika tidak pantas disebut karya jurnalistik, maka saya akan menuliskannya dengan jenis tulisan opini saja. Dua kali saya mengunjungi desa yang hilang itu. Simonet namanya, hilangnya desa itu membuat banyak media, akademisi, hingga politisi datang. Tak tahu sekedar datang saja atau berniat melakukan sesuatu seperti saya, tapi tak pernah terlihat hasilnya.
Dahulu, kamu hidup dengan tenang bersama ombak laut ini. Saat ssya kecil, saya ingat betul bahwa disana banyak tanaman melati. Tanamannya tak hanya satu larik, tapi ada 3 sampai 5 yang bisa membendung deburan ombak laut. Yang saya ingat dulu laut masih jauh, tak seperti saat ini buka pintu saja airnya kadang sudah masuk ruang tamu. Cerita tadi saya dapat kan dari salah satu warga yang masih bertahan di Desa ini.
Saya datang kesana dengan menaiki perahu yang cukup besar. Kami membayar sekitar 50.000 untuk menyebrang dari jembatan dekat pompa air di Desa Wonokerto, Wiradesa, Kabupaten Pekalongan. Hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit untuk sampai di desa yang hilang ini. Selanjutnya kami berjalan sekitar 15 menit lagi menyusuri desa yang tinggal rumah saja. Selama perjalanan kami hanya menemui tanah bekas banjir, dan beberapa ular yang nyebrang tanpa aba-aba.
Mengemas pesan kerusakan alam dengan sebuah sastra
Dua tahun sudah sejak saya pergi ke desa itu dan kembali melihat film dokumenternya. Saya tak melihat betul bagaimana jalan yang saya dulu lalui bersama beberapa teman saya ada di film ini. Bisa jadi jalan tersebut sudah menghilang atau saja tak sempat terekam karena melihatnya saja sudah miris. Tak terlihat juga makam sang pendiri desa yang dulu ketika saya kesana sudah sangat dekat dengan lautan.
Jika memang krisis iklim hanya sebuah paradoks saja. Mari kita ke Simonet, melihat hidup warganya yang tertelan oleh air yang tak tahu kenapa begitu tinggi menyerang desa itu. Mari coba lihat kondisi yang jadi sangat ekstrim dalam waktu yang sangat singkat. Dan juga mari coba rasakan, bahwa mulai ada benda asing dalam tubuh manusia seperti microplastik, atau zat berbahaya lainnya.
Dan mungkin bisa saja sastra tadi jadi jembatan penghubung antar manusia dan kesadarannya menjaga lingkungan. Kita sudah cukup serakah dalam menjalani hidup, dan bisa saja bukan kita yang serakah sebagai masyarakat. Tapi sebuah pemerintahan yang serakah mengarap negaranya. Krisis iklim, kerusakan alam, bencana alam bukan hanya sebuah mitos belaka. Ini benar terjadi, dan jika Indonesia adalah negeri yang bergenre mistis, mari mulai adaptasi dengan kondisi ini secara mistis juga. Dan mulai percaya bahwa krisis iklim sudah terjadi dan nyata.





