Mencari Makna di Tumpukan Sampah
SANTAIREKOMENDASI
Muhammad Nabhan Fajruddin
5/8/20253 min baca


Di sebuah kota yang dikenal dengan kota kreatif dunia, tercecer sampah di sepanjang sudut kota. Bau busuknya menusuk hidung, tidak enak dipandang mata, dan obrolan masalah sampah bergema sampai warung kopi. Muncul kelompok yang menyalahkan pemerintah dengan sangat garang di media sosial. Ada juga kelompok yang sadar bahwa itu merupakan salah masyarakat yang kurang mengerti tentang mengelola sampah. Tidak sedikit juga masyarakat yang menganggap ini salah masyarakat dan pemerintah. Perdebatan ini akan terus muncul jika tidak dilandasi oleh pemikiran yang bijak dalam melihat suatu permasalahan. Pemahaman yang kurang komprehensif menjadi persoalan manusia, yang terjebak pada paradoks pengetahuan, cenderung sudah tahu satu informasi, meyakini bahwa itu yang paling benar.
Sering kali, seseorang melihat suatu masalah dari satu kaca mata saja. Mereka lupa terdapat model kaca mata yang beragam dengan variasi warnanya. Analogi lain adalah terdapat gelas yang terisi air setengahnya. Ada yang melihat bahwa gelas itu setengah isi, ada juga yang menganggap gelas itu setengah kosong. Dalam memandang suatu masalah terkadang terjadi perbedaan-perbedaan. Ini merupakan keniscayaan hukum alam, Tuhan berfirman dalam QS. Al-Hujrat ayat 13, bahwa manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, bersuku-suku, untuk saling mengenal. Dalam Alkitab Kejadian 1:26-31, menjelaskan bahwa manusia diciptakan secara unik oleh Tuhan, satu dan lainnya tidak sama. Dalam sudut pandang psikologi Abraham Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki keunikan potensi dan pengalaman masing-masing. Oleh karenanya, kesadaran bahwa manusia tidak akan pernah sama dengan manusia lain menjadi dasar adanya perbedaan dalam memaknai suatu permasalahan.
Kesadaran dalam melihat permasalahan perlu ditumbuhkan, sering kali kita mendengar perbedaan sudut pandang dalam melihat permasalahan. Ternyata menurut Sabrang Mowo Damar Panuluh, tidak hanya berhenti di sudut pandang saja, tetapi juga harus menyadari adanya cara pandang dan jarak pandang. Dalam definisi umum sudut pandang adalah posisi seseorang dalam melihat persoalan, ini bersifat kontekstual dan subjektif. Cara pandang merupakan kerangka berpikir seseorang dalam memaknai dunia, berakar pada nilai, pengalaman dan kepercayaan seseorang. Jarak pandang adalah seberapa dekat atau jauh melihat persoalan, baik secara emosional maupun analitis. Menurut teori empirisme Aristoteles bahwa pengalaman indrawi yang dialami manusia menjadi landasan memperoleh pengetahuan. Ini memperkuat adanya sudut pandang, cara pandang, dan jarak pandang yang beragam di antara manusia. Kesadaran semacam ini perlu dimiliki oleh masyarakat agar lebih bijak dalam menyikapi permasalahan yang muncul.
Dalam konteks permasalahan sampah di kota kreatif dunia, agaknya masyarakat dan pemerintah harus lebih kreatif lagi dalam menghadapi masalah ini, bukan malah saling menyalahkan satu sama lain. Overload TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di kota kreatif menyebabkan sampah yang menumpuk di sepanjang sudut kota. Sudut pandang masyarakat awam menyalahkan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Sedang sudut pandang pemerintah menganggap bahwa masyarakat tidak ada kesadaran tentang pengelolaan sampah yang baik. Cara pandang masyarakat juga beragam berdasarkan latar belakangnya, akademisi memandang penuh dengan teoritis, pebisnis memandang dengan perhitungan bisnis, budayawan memandang dengan penuh nilai, tokoh agama pun memiliki cara pandang spiritualitas, mahasiswa yang memandang dengan penuh kritik terhadap pemerintah dan bersuara lantang. Jarak pandang dalam melihat sampah juga beragam, ada yang melihat bahwa masalah sampah hanya tentang mengelola sampah saja, tetapi jika dilihat dari jarak yang jauh terdapat berbagai sistem yang kompleks seperti birokrasi, kesadaran masyarakat, ketersediaan alat, sumber daya manusia yang mengelola, dan lain sebagainya.
Jika menilik tentang sudut pandang, cara pandang, serta jarak pandang, seharusnya masyarakat dan pemerintah sadar bahwa perbedaan tidak bisa dihindari. Dengan dasar kesadaran tersebut, seharusnya perbedaan narasi, opini, dan argumentasi tentang masalah sampah bisa diakomodasi dengan dialektika yang berlandaskan tujuan untuk memberikan solusi konkret. Komitmen bersama untuk mengatasi masalah sampah menjadi hal yang ideal untuk dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah. Pemerintah merumuskan regulasi, sosialisasi, dan memfasilitasi infrastruktur pengelolaan sampah, sedang masyarakat mendukung dengan kesadaran dalam mengelola sampah dari rumah. Masalah sampah memang rumit, tapi setidaknya langkah pertama dalam menghadapi masalah adalah semua mempunyai pemahaman yang baik tentang sudut pandang, cara pandang, dan jarak pandang agar lebih arif dan solutif dalam menghadapi masalah.