Melihat Polemik Filsafat dari Paradigma Generalis
SANTAIREKOMENDASI
Muhammad Nabhan Fajruddin
10/20/20254 min baca


Di tengah pro kontra isu jurusan Filsafat yang menjadi pembicaraan di media sosial terutama di YouTube, membuka cakrawala nalar kritis mengenai ibu dari ilmu pengetahuan ini. Sebagian kritik menganggap jurusan filsafat seperti menara gading, ilmu yang dinilai tidak menyentuh realitas kehidupan masyarakat. Narasi kritik tersebut menganggap bahwa lulusan filsafat tidak berdampak pada nilai ekonomis pribadi atau berdampak bagi masyarakat. Lebih lanjut, kritik bahwa filsafat hanya sebatas belajar mengenai sejarah pemikiran tokoh dan tidak relevan dengan kehidupan sekarang. Bahkan muncul narasi mengenai jurusan filsafat harus dihapuskan. Sehingga menimbulkan reaksi dari para aktivis pendidikan yang kontra dengan narasi kritik tersebut. Terutama mengenai tujuan pendidikan itu sendiri, yakni pendidikan bukan hanya sekadar menciptakan para pekerja industri, tetapi menciptakan para pembelajar sejati.
Sejatinya manusia hidup dalam realitas masing-masing, secara naluriah alat yang menghubungkan antar manusia adalah bahasa. Dalam bahasa mengandung pesan tertentu yang dipakai untuk berkomunikasi di komunal manusia yang memiliki kesamaan bahasa. Setiap kelompok individu cenderung memiliki bahasa yang berbeda sesuai dengan kondisi geografis, budaya, dan lingkungan. Seperti yang biasa dijumpai, bahasa tongkrongan bagi anak muda yang bergaul di coffee shop tidak jauh dari ‘woles, ngab, skuy, dll.’ jika dibawa ke kumpulan akademisi senior maka mereka tidak related dan memahami bahasa itu, yang bisa memahami adalah kalangan anak muda tongkrongan. Sebaliknya, mungkin bahasa ilmiah ala akademisi seperti ‘elaborasi, replikasi, interkoneksi, dll.’ kurang dipahami oleh anak muda tongkrongan yang tidak familier dengan bahasa tersebut. Misalnya lagi masyarakat pantai yang realitasnya biasa dengan kapal dan jala, harus dipaksa hidup di kota yang serba canggih, tentu akan kikuk dan kesulitan. Artinya, naluriah dasar manusia memiliki realitas masing-masing yang diciptakan karena lingkungan dan kesamaan minat terhadap sesuatu.
Dalam konteks keilmuan, sejatinya ilmu adalah kumpulan dari refleksi realitas sekelompok manusia yang dinarasikan secara regenerasi. Dalam ilmu matematika bahasa atau simbol angka yang digunakan, sedang di ilmu Kimia memiliki bahasa atau simbol tertentu yang berbeda. Orang pada disiplin ilmu Matematika pasti related dan memahami bahasa matematika. Orang matematika agak sukar ketika memahami bahasa Kimia. Perbedaan realitas narasi keilmuan merupakan fitrah manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk yang berpikir. Tuhan pun berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 13, Yā ayyuhannāsu innā khalaqnākum min żakarin wa unṡā, wa ja‘alnākum syu‘ūban wa qabā`ila lita‘ārafū. Artinya bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Perbedaan realitas keilmuan dimaksudkan Tuhan agar manusia bisa mengintip atau mempelajari realitas keilmuan lain melalui upaya untuk belajar semua ilmu yang terbentang. Seseorang yang memiliki banyak ilmu akan semakin bijak, karena mengetahui realitas sudut pandang dari setiap ilmu.
Memang dilihat dari sudut pandang ekonomis jurusan filsafat tidak terserap dunia industri karena dianggap menjadi menara gading. Sebagian besar jurusan spesialis lebih dominan dalam keterserapan di dunia kerja serta menghasilkan nilai materi lebih banyak dibandingkan generalis. Namun esensi pendidikan tidak hanya menghasilkan nilai materi saja, tetapi juga cara berpikir kritis bagaimana bisa menjawab permasalahan-permasalahan yang ada. Laiknya kalimat Jhon Dewey, “Pendidikan bukan untuk hidup hari ini, tetapi untuk seluruh hidup.” Tidak sedikit lulusan jurusan filsafat yang menjadi orang berhasil dengan memberdayakan nalarnya seperti Putut EA menjadi penulis, Rocky Gerung pernah belajar di jurusan filsafat menjadi tokoh intelektual, Dhea Anugrah menjadi penulis, Fahrudin Faiz menjadi dosen UIN Sunan Kalijaga yang menyampaikan filsafat dengan sederhana, dan lain sebagainya. Artinya filsafat masih bisa relevan yang dapat menjawab tantangan zaman, melalui konsep dasar filsafat yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam berlaku. Ilmu dasar mengenai perilaku hidup harus berdasarkan keberadaan atau eksistensi (Ontologi), memiliki dasar serta metodologi yang runtut dan logis (Epistemologi), dan memiliki alasan yang jelas baik untuk kemanfaatan atau estetika (Aksiologi).
Dalam dunia yang kompleks dan dipenuhi oleh realitas manusia yang beragam, pendekatan generalis menjadi semakin penting untuk menjembatani pemahaman lintas disiplin. Seorang generalis tidak hanya memiliki pengetahuan luas, tetapi juga sensitivitas terhadap konteks sosial, historis, dan kultural dari berbagai cara pandang manusia. Inilah peran dan semangat yang dibawa oleh filsafat, yakni mengasah nalar, membuka ruang berpikir kritis, dan menumbuhkan kesadaran bahwa tidak ada satu kebenaran tunggal yang mutlak dalam memahami dunia. Dalam maqolah Arab, Fali kulli syai’im maziyah, setiap sesuatu memiliki kelebihan. Maka, dalam kerangka pendidikan, kehadiran ilmu filsafat bukan sekadar menjadi spesialis yang mempelajari sejarah tokoh dan aliran, tetapi justru mendidik para generalis yang mampu menafsirkan keragaman makna, memediasi perbedaan, serta merumuskan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan. Di tengah arus pengotakan ilmu dan materialisme ilmu, filsafat justru menawarkan kemampuan reflektif dan menyeluruh yang sangat dibutuhkan untuk menghasilkan harmoni yang berdasar.
Persoalan lulusan jurusan filsafat yang dianggap tidak relevan dan hanya menjadi menara gading sebenarnya terjawab jika industri mengetahui secara komprehensif kualitas ilmu filsafat. Banyak organisasi dan institusi hari ini mengusung nilai-nilai luhur sebagai pijakan. Namun menjaga agar nilai itu tidak sekadar menjadi jargon, butuh kehadiran orang dengan disiplin filsafat yang terbiasa berpikir mendasar. Mereka yang terbiasa menelaah ulang, menyusun arah, dan menimbang sebelum melangkah. Sayangnya, peran ini kerap luput dari perhatian. Hanya segelintir organisasi atau lembaga yang benar-benar menyadari bahwa keberlangsungan nilai tidak cukup dijaga dengan slogan, melainkan dengan pikiran yang terus hidup. Dalam konteks inilah, ruang-ruang akademik yang membentuk cara berpikir kritis dan menyeluruh menjadi penting, meski kadang tidak langsung menghasilkan output materi.
Pada akhirnya, perdebatan tentang penghapusan jurusan filsafat berakar pada anggapan bahwa filsafat tidak lagi relevan dan hanya menjadi menara gading dalam dunia akademik. Penulis mengikhtisarkan antitesis, yang pertama bahwa prinsip generalis menjadi jembatan untuk lebih bijak dalam melihat antar realitas keilmuan dan interdisipliner ilmu. Semakin banyak ilmu yang dipelajari, semakin bijak dalam bersikap dan memaknai perbedaan realitas keilmuan. Kedua, bahwa sejatinya lulusan jurusan filsafat dapat relevan dengan dunia kerja, dengan menjadi penggagas atau penjaga core value instansi, lembaga, perusahaan bahkan negara. Namun masalahnya dunia kerja hingga birokrasi tidak memahami esensi filsafat secara komprehensif dan hanya mementingkan keuntungan saja, sehingga berdampak pada core value instansi yang diabaikan oleh pekerja atau anggotanya. Oleh karenanya, jurusan filsafat sejatinya masih diperlukan dalam masyarakat sebagai pengontrol atau penjaga nilai-nilai dasar di tengah hiruk pikuk industrialis dan kompleksnya realitas ilmu.

