Lilin yang Menyinari Gelapnya Ibu Pertiwi
REKOMENDASISERIUS
Paijo
3/7/20253 min baca


Di negara demokrasi, momentum awal kepemimpinan presiden terpilih usai penyelenggaraan Pemilu biasanya diiringi dengan balutan cahaya harapan untuk keberlangsungan negara. Dengan pemimpin yang baru, harapannya muncul kebijakan baru yang masih segar dan pro terhadap rakyat. Momentum awal ini menandakan keseriusan pemerintahan baru untuk konsisten bekerja selama beberapa tahun ke depan. Laiknya seorang pekerja yang baru saja diterima kerja, pada hari pertama muncul semangat dan motivasi tinggi untuk bekerja dengan baik dan hati-hati agar tidak melakukan kesalahan. Dalam ilmu komunikasi, kesan pertama kepada orang yang baru ditemui sangat menentukan cara pandang dan kepercayaan kepada orang tersebut. Oleh karenanya, banyak orang akan mempersiapkan diri sebaik mungkin ketika bertemu orang baru agar mendapat kepercayaan dan kesan baik.
Franklin D. Roosevelt, tokoh yang mempopulerkan seratus hari kerja di AS, mengatakan bahwa seratus hari pertama adalah kesempatan emas bagi pemerintahan menentukan arah kebijakan, momentum politik untuk meloloskan undang-undang pro-rakyat, dan membangun kepercayaan publik dan memperkuat legitimasi pemerintahannya. Fenomena di negeri kita tercinta saat ini, rasanya justru jauh panggang dari api dengan apa yang disampaikan Roosevelt. Ada gurat kekecewaan dari publik terhadap first impression seratus hari kerja pemerintahan Prabowo dan Gibran. Serangkaian peristiwa muncul silih berganti dan menjadi polemik di masyarakat, dari mulai kebijakan populis hingga efisiensi anggaran. Belum lagi kabinet gemoy yang terdiri dari 109 pejabat, terdiri dari menteri, wakil menteri, dan pejabat setara menteri, yang menimbulkan pro-kontra di kalangan ahli dan masyarakat.
Seratus hari yang gelap bagi pemerintahan Prabowo dan Gibran jika berdasarkan teori Rooselevelt. Pertama, dari segi arah kebijakan pemerintahan yang fokus pada kebijakan populis dengan cara ambisius menerapkan MBG (Makan Bergizi Gratis) bagi siswa. Kedua, momentum politik yang hanya meloloskan undang-undang efisiensi anggaran melalui Inpres Nomor 1 tahun 2025 yang digunakan untuk MBG dan Danantara. Ketiga, kepercayaan publik yang dihancurkan dengan menempatkan pendidikan dan kesehatan menjadi kategori faktor pendukung saja. Dengan tiga fenomena politik itu saja, tidak heran manakala muncul tagar #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap di media sosial X. Tagar tersebut adalah manifestasi kekecewaan dan kejenuhan dengan kondisi Indonesia ke depan. Sinyal tersebut seharusnya bisa dimaknai oleh pemerintah sebagai proses demokrasi, dengan menjadikan fenomena tersebut sebagai introspeksi dari kebijakan yang sudah diterbitkan.
Jika diurutkan, fenomena politik yang terjadi adalah diawali dari proses pencalonan Gibran yang dibantu oleh MK, kampanye pasangan Prabowo-Gibran dibantu oleh rezim, setelah dilantik langsung membuat kabinet gemuk dengan ratusan pejabat, kebijakan MBG (Makan Bergizi Grati) yang terlalu ambisius, kebijakan gas elpiji yang sembrono, efisiensi anggaran besar-besaran Kementerian (TNI, Polri, DPR tidak terkena efisiensi), sektor pendidikan dan kesehatan tidak menjadi prioritas, tunjangan kinerja dosen tidak dibayar, arogansi mobil pejabat, pencekalan musisi Sukatani yang menyanyikan lagu “bayar bayar bayar” oleh polisi, dan yang terakhir polemik Danantara. Berbagai fenomena tadi merangsang elemen masyarakat untuk berekspresi dengan tagar #IndonesiaGelap dan demonstrasi di berbagai daerah. Peringatan darurat yang beredar tidak lagi menggunakan garuda biru, tetapi garuda hitam yang memiliki kesan Indonesia semakin tidak karuan.
Peristiwa demi peristiwa yang terjadi seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah untuk mengkaji ulang program dan kebijakan ambisiusnya, serta membuka diri dan mendengarkan aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat umum. Karena agaknya adanya DPR tidak merepresentasikan suara rakyat, tetapi segelintir suara kepentingan kelompok, partai, dan golongan saja. Penerimaan positif masa aksi oleh pihak pemerintah yang terjadi di beberapa daerah perlu diapresiasi, karena mau mendengarkan dan mencoba menyuarakan ke pemerintah pusat. Namun, upaya tersebut sepertinya belum berhasil, karena sikap presiden Prabowo yang anti kritik. Dalam pertemuan Partai Gerinda, presiden Prabowo mengumpat “ndasmu” kepada akademisi yang mengritik kabinet gemuknya. Tak hanya itu, di akhir pidatonya beliau malah melontarkan kata “hidup Jokowi!” bukan “hidup rakyat!”, artinya presiden Prabowo memvalidasi bahwa kemenangannya dibantu oleh rezim Jokowi dan tidak menghiraukan rakyat yang sudah memilihnya.
Demikian ini kondisi Indonesia yang semakin gelap dengan berbagai peristiwa dan fenomena yang terjadi di seratus hari pertama presiden baru. Kita sebagai masyarakat awam yang mengerti kondisi bangsa, harus terus berusaha untuk menghidupkan lilin-lilin perlawanan untuk membuat Indonesia yang dicita-citakan RA Kartini, habis gelap terbitlah terang. Tidak mudah memang, tetapi rakyat bisa bergerak mandiri untuk menularkan api lilin-lilin itu melalui pendidikan masyarakat yang terjadi di media sosial, forum diskusi, dan bangku perkuliahan. Sedikit demi sedikit kita bersama-sama mencicil untuk mengembalikan cahaya itu agar tetap menerangi ibu pertiwi. Harus diyakini bahwa suatu saat nanti pasti Ibu Pertiwi dengan anggun bersolek di tengah cahaya yang terang, yang menandakan Indonesia suatu saat akan menjadi negara yang maju dan sejahtera.