Legal tapi Mengancam: Fenomena Premanisme Berkedok Ormas di Indonesia
SANTAIREKOMENDASI
Sofarul Wildan Akhmad
5/21/20252 min baca


Premanisme di Indonesia saat ini tidak lagi identik dengan kekerasan jalanan seperti dulu. Kini, premanisme bermetamorfosis menjadi lebih rapi dan terorganisir. Banyak dari mereka bergabung atau membentuk organisasi kemasyarakatan (ormas) yang secara legal diakui negara. Padahal, di balik struktur resmi tersebut, masih tersimpan praktik-praktik kekerasan, intimidasi, dan pemaksaan.
Premanisme dalam Balutan Ormas: Legitimasi Semu
Organisasi kemasyarakatan (ORMAS) seharusnya menjadi wadah aspirasi bagi masyarakat sipil. Namun, dalam praktiknya, Ormas justru menjadi “kendaraan” bagi kelompok-kelompok preman untuk mendapatkan perlindungan hukum dan legitimasi sosial. Mereka mengklaim sebagai penjaga moral, pelindung agama, atau pembela masyarakat adat, namun di balik itu kerap melakukan pemerasan terhadap pelaku usaha, menekan kebebasan berekspresi, hingga menjadi alat kekerasan berbasis ideologi.
sejumlah ormas juga terindikasi menerima dana hibah dari pemerintah daerah dan terlibat dalam proyek pengamanan kegiatan bisnis yang berujung pada kekerasan dan intimidasi. Ormas seperti ini seringkali menggunakan simbol keagamaan atau nasionalisme dangkal sebagai tameng untuk melindungi tindakan ilegal mereka.
Pejabat Publik dan Struktur Ormas: Relasi yang Sarat Konflik Kepentingan
Yang lebih memprihatinkan, banyak pejabat publik—mulai dari kepala daerah, anggota DPRD, hingga aparat keamanan—tercatat sebagai pengurus atau pendukung ormas-ormas tersebut. Keterlibatan ini bukan sekadar simbolik, tetapi seringkali bersifat strategis untuk menjaga kepentingan politik tertentu.
Relasi semacam ini dapat menciptakan konflik kepentingan yang besar. Ketika pejabat dan aparat justru menjadi bagian dari organisasi yang melakukan pelanggaran, maka penegakan hukum pun menjadi tumpul. Premanisme yang seharusnya diberantas justru dibiarkan tumbuh dan berkembang di bawah perlindungan kekuasaan formal.
Simbiosis Mutualisme yang Merusak Demokrasi
Kedekatan antara ormas preman dan elit politik melahirkan hubungan saling menguntungkan. Ormas menyediakan "jasa" berupa kekuatan massa saat kampanye atau unjuk rasa, dan sebagai imbalannya mereka mendapat perlindungan hukum serta dukungan dana. Dalam kondisi seperti ini, hukum sering kali tak berdaya, terutama ketika pelaku kekerasan berlindung di balik identitas keagamaan atau nasionalisme.
Dampaknya sangat serius. Ruang demokrasi semakin sempit. Kritik dibungkam dengan ancaman kekerasan. Masyarakat sipil, aktivis, hingga media lokal menjadi takut bersuara karena sadar bahwa mereka bukan hanya berhadapan dengan preman jalanan, tetapi juga dengan kekuasaan formal yang melindungi mereka.
Memutus Jaringan Kekuasaan Premanisme
Untuk mengatasi masalah ini, perlu langkah nyata dan tegas dari negara. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain:
Audit menyeluruh terhadap ormas penerima dana publik. Pemerintah harus memastikan bahwa dana rakyat tidak digunakan untuk mendukung organisasi yang terlibat dalam kekerasan atau pemerasan.
Larangan rangkap jabatan. Pejabat publik tidak boleh merangkap sebagai pengurus ormas untuk mencegah konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Transparansi dan partisipasi masyarakat. Warga perlu dilibatkan dalam mengawasi aktivitas ormas, terutama yang berafiliasi dengan tokoh politik.
Penegakan hukum tanpa pandang bulu. Hukum harus ditegakkan kepada siapa pun, termasuk ormas yang membawa nama agama atau etnis tertentu.
Dengan langkah-langkah ini, kita bisa kembali menata kehidupan sosial yang adil dan aman. Premanisme tidak boleh dibiarkan menyusup ke dalam struktur negara. Demokrasi harus dijaga dari mereka yang menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan kelompoknya semata.