Jalan Terjal Sang Penantang

SERIUSREKOMENDASI

Muhammad Nabhan Fajruddin

10/16/20246 min baca

Pendahuluan

Memasuki bulan menjelang Pilkada 2024 dinamika hiruk pikuk kampanye mulai terasa di sepanjang jalan di berbagai daerah. Alat peraga kampanye berupa spanduk dan papan iklan para Calon Kepala Daerah terpampang di setiap sudut jalan. Pilkada 2024 menjadi pesta rakyat kedua di tahun 2024 setelah pada Juli 2024 yang lalu bangsa ini memilih para wakil dan pemimpinnya. Pilkada 2024 ini berbeda dengan Pilkada sebelumnya, setelah MK mengesahkan ambang batas untuk mencalonkan Kepala Daerah. Dalam Putusan No.60/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD tetap bisa mencalonkan pasangan kepala daerah, asalkan memenuhi syarat jumlah suara sah dalam pemilu. Hal tersebut mendorong lahirnya calon Kepala Daerah dengan koalisi partai yang sedikit dan memungkinkan adanya pasangan calon Kepala Daerah lebih dari tiga. Tentu dengan keputusan tersebut memberikan kemeriahan dalam kontestasi demokrasi di berbagai daerah.

Pilkada 2024 di berbagai daerah ada yang sebagian mempertandingkan para kontestan baru, tapi ada juga petahana yang kembali mengikuti kontestasi untuk melanjutkan kepemimpinannya. Hal yang menjadi menarik adalah kontestan baru yang menantang petahana dalam perebutan bangku kepemimpinan daerah. Munculnya penantang didorong dengan adanya keputusan MK yang memungkinkan partai dengan koalisi sedikit bisa untuk mencalonkan Kepala Daerahnya. Selain itu, penantang melihat ketidakpuasan melihat kinerja petahana selama satu periode yang lalu. Namun, terkadang calon penantang hanya bermodal nekat untuk terjun dalam kontestasi Pilkada, tanpa mempersiapkan secara matang gagasan, biaya politik, dukungan, dan lainnya. Sehingga, tidak jarang para penantang hanya sebagai partisipan yang memeriahkan Pilkada saja. Sudah menjadi rahasia umum melawan petahana dalam kontestasi Pemilu merupakan sesuatu hal yang sulit. Pengalaman dan pengaruh birokrasi, popularitas dan rekam jejak, tidak ada bukti kerja nyata, serta lemahnya dukungan finansial dan jejaring politik, semua itu adalah hambatan yang menghadang sang penantang dalam melawan petahana di Pilkada.

Pengalaman dan Pengaruh Birokrasi

Edmund Husserl, tokoh aliran fenomenologi, menyatakan bahwa pengalaman merupakan dasar pengetahuan manusia dengan beberapa indikator bahwa pengalaman itu disadari dan terjadi secara langsung. Bagi penantang yang tidak memiliki pengalaman dalam dunia birokrasi dan politik tentu akan terasa berat dalam persaingan melawan petahana. Biasanya para penantang yang tidak memiliki pengalaman politik dan birokrasi merupakan pebisnis dan tokoh agama. Dengan kapasitas seorang pebisnis maupun tokoh agama tentu tidak cukup menjadi bekal untuk memimpin birokrasi dan politik yang rumit. Kecuali, penantang tersebut merupakan aktivis atau akademisi yang fokus dengan dinamika politik yang terjadi. Jika sang penantang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup tentu akan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan petahana yang sudah berpengalaman dan mengetahui sistem birokrasi yang sudah berjalan di Pemerintahan Daerah.

Dalam sistem pemerintahan daerah yang berlandaskan demokrasi, tentu tidak bisa terlepas dengan adanya trias politika antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Dibutuhkan sinergi ketiga komponen tersebut untuk mencapai kestabilan sistem pemerintahan. Dalam hal ini relasi petahana kepada legislatif dan yudikatif memiliki keunggulan karena sudah berpengalaman dan memiliki kerja sama di periode yang lalu. Sedang, sang penantang biasanya belum memiliki pengalaman dan relasi yang cukup dalam menjalankan pemerintahan. Dengan demikian, pengalaman dan pengaruh birokrasi menjadi jalan terjal sang penantang dalam menghadapi kontestasi Pilkada.

Popularitas dan Rekam Jejak

Menurut pemikir postmodern, di era modern, popularitas politik tidak hanya dibentuk oleh kebijakan atau ideologi, tetapi juga oleh citra dan branding. Dalam negara demokrasi tentu popularitas menjadi ujung tombak untuk memenangkan kontestasi demokrasi. Demokrasi yang memiliki konsep bahwa lahirnya pemenang berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh. Dalam konteks Pilkada, biasanya sang penantang berasal dari orang yang tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas. Kecuali, jika penantang tersebut merupakan tokoh daerah atau tokoh nasional yang masyhur. Tentu berbanding terbalik dengan petahana yang sudah dikenal luas oleh masyarakat daerah karena sudah pernah menjadi orang nomor satu di tingkat daerah. Sang penantang harus melakukan effort lebih dalam berkampanye untuk personal branding membangun citra agar dikenal masyarakat daerah. Dengan demikian, jalan terjal selanjutnya adalah popularitas yang masih menjadi tantangan untuk sang penantang dalam kontestasi untuk menantang petahana.

Selain tantangan popularitas, rekam jejak menjadi suatu hal yang penting dalam kontestasi Pilkada. John Zaller, seorang ahli ilmu politik Amerika, menekankan bahwa rekam jejak adalah salah satu faktor utama dalam membangun kredibilitas kandidat. Rekam jejak menjadi indikator penting dalam memilih pemimpin, biasanya rekam jejak dapat dinilai dari kepribadian, gaya kepemimpinan, karakter, kinerja, dan pencapaian yang sudah diraih. Dalam hal ini sang penantang perlu memerhatikan rekam jejak perjalanan masa lalunya. Misalnya dalam hal pengelolaan finansial, apakah memiliki riwayat korban investasi bodong atau tidak, memiliki hutang yang menumpuk, dan akuntabilitas dalam mengelola keuangan. Selain itu, apakah yang bersangkutan memiliki semangat etnosentrisme kedaerahan yang kuat atau tidak. Serta berbagai hal yang berkaitan dengan kepribadian dan kinerja di masa lampau. Jika terdapat masalah pada rekam jejak pada sang penantang, tentu ini bisa menjadi jalan terjal yang menghadang bagi penantang untuk menang dalam Pilkada.

Tidak Ada Bukti Kerja Nyata

Richard Joseph, dalam teorinya tentang political exchange, menjelaskan bahwa politisi menggunakan pembangunan dan distribusi sumber daya sebagai alat untuk mempertahankan dukungan politik. Tantangan selanjutnya sang penantang biasanya adalah kurangnya bukti nyata dalam menjelaskan visi-misi serta program kerja dalam kampanye. Biasanya masyarakat melihat bukti kerja nyata melalui bangunan fisik yang tampak dan berdampak bagi masyarakat sekitar. Sang penantang dalam menjelaskan program kerja harus pandai meyakinkan masyarakat dengan usaha penuh. Kemampuan retorika, argumen yang kuat, logis, dan cara persuasif diperlukan sang penantang untuk mendapatkan perhatian masyarakat.

Jika dibandingkan dengan petahana, penantang tertinggal dalam hal bukti nyata secara bangunan fisik yang berdampak bagi masyarakat. Dalam satu periode yang telah lalu, petahana melakukan pembangunan fisik yang berdampak bagi masyarakat. Di samping sebagai solusi atas masalah, bangunan fisik terebut bisa menjadi alat politik untuk mempersuasi masyarakat tentang kerja nyata selama satu periode. Dengan bukti kerja nyata tersebut, petahana akan lebih mudah dalam mendapatkan perhatian dan suara masyarakat dalam kontestasi Pilkada.

Apalagi kecenderungan masyarakat umum tidak membaca dan memerhatikan visi-misi dan program kerja calon Kepala Daerah. Mereka hanya melihat realitas sosial yang tampak bagi kehidupan mereka seperti bangunan fisik yang berdampak luas. Tentu ini menjadi jalan terjal yang harus dilalui sang penantang dalam kontestasi demokrasi. Untuk mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat, selain para pendukung militan, sang penantang harus menggunakan siasat politik yang matang dan optimal. Dengan demikian, tidak adanya bukti nyata khususnya secara fisik menjadi rintangan bagi sang penantang untuk merebut kekuasaan petahana di daerah.

Lemahnya Finansial dan Jejaring Politik

Pippa Norris, seorang ahli ilmu politik, berpendapat bahwa kekuatan finansial dalam mendanai kampanye dapat memengaruhi proses pemilu dan hasilnya. Faktor finansial menjadi kekuatan yang mendasari para calon Kepala Daerah dalam proses kampanye untuk mendapatkan suara masyarakat. Pembiayaan politik atau ongkos politik dalam berbagai bidang menjadi kekuatan yang penting dan menentukan keberhasilan calon Kepala Daerah. Bagi sang penantang, jika ingin memenangkan kontestasi Pilkada harus memiliki kekuatan finansial yang optimal dan lebih dari petahana. Jika tidak memiliki finansial yang kuat akan berdampak signifikan dalam strategi politik yang terbatas. Biasanya, sang penantang tidak menyadari ongkos politik itu mahal. Sang penantang mungkin memiliki dana yang banyak, tetapi dirinya baru menyadari bahwa politik lebih mahal ketika sudah banyak pengeluaran untuk membayar tim dan para relawan. Terkadang walaupun sang penantang memiliki finansial yang melimpah, tetapi jika tidak hati-hati tentu ini akan dimanfaatkan oleh para tim dan relawan yang nakal. Belum lagi adanya tradisi salam tempel yang sudah lumrah dilakukan dalam setiap Pemilu atau Pilkada. Dibandingkan dengan petahana yang sudah menguasai medan perang, dia akan lebih mengetahui dana yang harus disiapkan dan strategi keuangan untuk memenangkan Pilkada berdasarkan pengalaman sebelumnya.

Antonio Gramsci, seorang filsuf Italia, dalam teorinya tentang hegemoni, menjelaskan bahwa jejaring politik dapat digunakan oleh aktor politik dominan untuk membangun dan mempertahankan hegemoninya di tingkat lokal. Satu lagi persoalan sang penantang adalah kurangnya jejaring politik yang penting bagi proses kampanye untuk meraih suara. Biasanya sang penantang hanya memiliki jejaring politik yang minim, jika sang penantang tersebut tidak dari kalangan elite partai dan tokoh yang berpengaruh. Apalagi biasanya sang penantang memiliki jumlah partai koalisi sedikit dibandingkan petahana yang memiliki koalisi yang banyak. Koalisi partai politik berfungsi sebagai mitra calon Kepala Daerah untuk memenangkan calon yang didukung. Dalam konteks ini tentu sang penantang yang berasal dari koalisi kecil akan mengalami hambatan dibandingkan petahana yang memiliki koalisi besar. Belum lagi sang petahana memiliki kekuatan besar dalam menggalang jejaring politik dengan pemerintahan pusat dan para menteri karena sudah berpengalaman menjalin kerja sama. Sedang sang penantang yang biasanya hanya dari kalangan pebisnis atau tokoh daerah yang tidak begitu popular, tentu akan mengalami kesulitan dalam membangun jejaring.

Kesimpulan

Pada akhirnya, banyak hambatan bagi sang penantang dalam kontestasi Pilkada melawan petahana. Beberapa Jalan terjal yang menghadang di antaranya adalah lemahnya pengalaman birokrasi dibandingkan petahana, popularitas dan rekam jejak yang masih tertinggal, tidak adanya bukti kerja nyata yang menjadi penguat program kerja, serta lemahnya finansial dan alokasi finansial dalam pembiayaan strategi politik. Jalan terjal tersebut tentu merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh penantang dengan berbagai siasat politik yang optimal. Jika sang penantang hanya grusak-grusuk tanpa pertimbangan dan perencanaan yang matang maka dia akan menjadi pelengkap Pilkada saja. Diperlukan kekuatan yang lebih ekstra dalam menghadapi petahana yang sudah memiliki keunggulan dari berbagai sektor. Selain itu, kualitas pribadi sang penantang menjadi sangat penting dalam menghadapi petahana. Jika kualitasnya hanya biasa saja dalam kepemimpinan, intelektual, dan siasat politik maka susah mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat daerah. Dengan demikian, opini yang ditawarkan penulis di atas menjadi tambahan perspektif baru bagi masyarakat umum untuk menentukan pilihannya di Pilkada 2024.