Eskalasi Konsep Menyikapi Post Truth
SERIUSREKOMENDASI
Muhammad Nabhan Fajruddin
1/28/20253 min baca


Era post truth menjadi permasalahan yang penting, kebenaran yang bisa dipalsukan dan kepalsuan bisa dibuat seolah kebenaran. Didukung dengan munculnya media sosial yang merupakan media untuk bersosialisasi dan berkomunikasi secara digital memunculkan dinamika yang cukup besar. Dalam berekspresi dan bersosialisasi di media sosial yang memungkinkan kebebasan berpendapat dengan semua orang bebas mengomentari sesuatu. Siapa saja yang memiliki akses ke media sosial dari berbagai lapisan masyarakat dapat memunculkan gagasan.
Terkadang ketika mengomentari sesuatu, netizen seolah sudah mengetahui segala informasi dan berpendapat seolah paling benar. Fenomena ini menyebabkan hilangnya kepakaran, karena semua orang seolah mengetahui dan menguasai di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, mendorong Tom Nicolsh untuk menulis buku The Death of Expertise, yang mengkritisi matinya kepakaran akibat fenomena semua orang mengalami pengetahuan semu yang seolah mengerti berbagai bidang ilmu. Hal itu menjadi paradoks, di satu sisi media sosial memberikan ruang dialog publik, tapi di sisi lain fenomena ini menyebabkan hilangnya kepakaran.
Era post truth terkadang banyak para pakar, tokoh, dan ahli yang bisa dipengaruhi oleh sejumlah uang dan materi. Menyebabkan argumentasi yang dikeluarkan mengenai suatu hal atau masalah diputar balikkan sesuai selera yang membayar atau yang memengaruhi. Fenomena tersebut biasanya terjadi ketika menjelang Pemilu, banyak tokoh dan ahli dibayar untuk memberikan dukungan penuh dan menyapu berbagai isu dengan pernyataan yang sudah didesain.
Terkadang para pakar, tokoh, dan ahli juga bersikap arogan di masyarakat walaupun argumentasinya keliru dalam mengomentari suatu hal. Mereka merasa benar dan ditutupi oleh ilusi pengetahuan bahwa mereka sudah mengetahui seluruhnya. Jika terjadi kasus yang demikian, maka masyarakat awam akan dirugikan dengan kepakaran yang dimiliki. Alih-alih merujuk pada ahli, malah terjerumus pada kekeliruan dan kesalahan dalam menilai sesuatu. Arogansi kepakaran sering kali meremehkan argumentasi dari orang biasa, yang mungkin memiliki bobot kebenaran. Arogansi kepakaran semacam itu perlu disikapi dengan bijak dan perlu solusi agar fenomena ini tidak terulang terus menerus.
Fenomena arogansi kepakaran perlu disikapi dengan baik agar ditemukan solusi yang bijak. Antitesis agar kebenaran objektif dapat terus berlangsung adalah dengan peribahasa Arab undzur ma qala wa la tandzur man qala, lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan. Peribahasa tersebut memberikan pesan bahwa pesan yang baik perlu dihargai dan didengarkan terlepas dari siapa pun yang bicara. Kalimat tersebut menjadi antitesis dari arogansi kepakaran yang muncul di tengah masyarakat. Peribahasa tersebut juga harus sesuai dengan konteks dan kondisi tertentu, misalnya dalam konteks tertentu. Biasanya dalam kondisi diskusi, mendengarkan kritik, dan konteks sosial yang berlangsung.
Dalam diskusi semua ide dan gagasan berkedudukan setara, tidak melihat dari mana ide itu berasal, asalkan baik maka harus dihargai dan didengarkan. Jadi tidak perlu menjadi gus untuk mengomentari tentang fiqih, asalkan tahu dan mengerti selama itu ada argumentasi yang jelas dan kuat siapa saja boleh berargumen. Tidak perlu menjadi pejabat publik, asalkan paham dan kritis tentang kebijakan yang diperlukan, siapa saja dapat berpendapat dengan berlandaskan argumen yang kokoh. Tidak perlu menjadi ahli lingkungan, untuk bicara masalah lingkungan, asalkan berpendapat dengan kekuatan teoritis yang kaya dan kokoh. Dengan melihat esensi argumentasi dapat menjaga keobjektifan gagasan atau argumen, tanpa melihat siapa yang berbicara. Peribahasa ini juga merupakan ejawantah dari konsep demokrasi bahwa semua orang bebas mengemukakan pendapat.
Namun ternyata peribahasa tersebut belum cukup untuk diterapkan dalam semua lini kehidupan. Ada beberapa kondisi tertentu harus melihat secara komprehensif. Undzur ma qola wa tandzur man qola, lihatlah apa yang dikatakan dan siapa yang mengatakan, artinya adanya keobjektifan yang didukung oleh kepakaran yang melekat pada individu. Konsep tersebut relevan jika diterapkan dalam proses penyebaran informasi yang beredar, dengan latar belakang yang melekat dan isi berita yang beredar akan menjadi informasi yang kuat. Misalnya, berita mengenai gizi pada makanan disampaikan oleh ahli gizi lebih kuat dari pada yang disampaikan oleh orang awam atau seorang seniman.
Selain itu, dalam konteks untuk membuat kebijakan publik maupun pembangunan diperlukan kepakaran dan keobjektifan isi gagasan. Misalnya, akan membangun pasar di tengah kota, diperlukan kepakaran dalam berbagai sektor yang berkaitan dengan pasar. Konteks yang paling krusial adalah di dunia pendidikan, setiap guru atau dosen harus memiliki kepakaran dalam satu bidang yang dikuasai untuk memberikan materi yang presisi pada siswa. Sesungguhnya dengan konsep melihat isi dan siapa yang berbicara menjadikan gagasan yang utuh dan memiliki kekuatan. Oleh karena itu, alangkah baiknya dalam kondisi penting perlu konsep ini dalam segmentasi kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, menyikapi permasalahan yang muncul dalam ruang publik perlu penerapan konsep yang tepat. Konsep yang hanya melihat siapa yang berbicara, tanpa melihat esensi maknanya merupakan konsep paling rendah karena masyarakat digiring untuk hanya tunduk kepada entitas yang melekat pada individu tanpa melihat esensi, serta konsep ini juga memunculkan arogansi identitas. Selanjutnya, konsep melihat esensi argumentasi tanpa memandang latar belakangnya merupakan konsep untuk menjaga keobjektifan isi dan menumbuhkan ruang demokratis, namun rawan menghilangkan kepakaran. Serta yang paling tinggi adalah melihat esensi argumentasi dan juga melihat latar belakang individu yang bersangkutan, artinya ada perpaduan antara melihat secara objektif dan diperkuat dengan latar belakang yang melekat pada individu. Eskalasi konsep tersebut perlu dipahami agar permasalahan post truth di dunia digital maupun ruang publik dapat terurai dan dapat memberikan dorongan kepada masyarakat untuk selalu kritis.