Dari Sekian Banyak Gunung Api Aktif, Ternyata Pembukaan Lahan Tak Kalah Aktif
SANTAIREKOMENDASI
Manarul Hidayat
12/13/20253 min baca


Kalau gunung bisa ngomong, mungkin dia bakal bilang begini:
“Yang bikin aku meletus bukan cuma magma, tapi juga tanda tangan manusia.”
Dan rasanya benar juga. Negeri ini, dari 127 gunung api aktif yang ada, yang paling aktif justru bukan gunung, tapi para pejabat yang tangannya lincah menandatangani izin pembukaan lahan. Dari Januari hingga September 2025 saja, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat sekitar 166.450 hektar hutan pegunungan berubah wujud menjadi peluang investasi.
Indonesia Negara Sabuk Api atau Sabuk Izin?
Indonesia sering disebut negeri di sabuk api dunia. Tapi belakangan, kita juga layak disebut negeri di sabuk izin. Dari Sabang sampai Merauke ada lebih dari 400-an gunung. Dua pertiganya sudah disentuh pembangunan, tambang, atau pariwisata. Gunung yang dulu tempat para leluhur menepi, sekarang tempat orang mencari spot healing dan ROI (Return on Investment).
Sepanjang 2025, tercatat 7.195 erupsi di seluruh Indonesia. Semeru jadi juaranya, 2.937 kali mengeluarkan abu. Tapi rasanya jumlah izin tambang dan perubahan tata ruang yang dikeluarkan bisa menyainginya. Mulai dari villa wisata di Puncak, tambang emas di Sulawesi, hingga kebun sawit di kaki Leuser. Jadi kalau ada yang bilang gunung sering “aktif”, manusia tampaknya lebih kompetitif. Bedanya, yang satu memuntahkan lava, yang lain memuntahkan longsor dan banjir di musim hujan.
Etnisitas dan Solidaritas dalam Memikirkan Gunung
Di tengah gegap gempita izin dan investasi, masyarakat di kaki gunung justru sering jadi contoh paling indah dari solidaritas lintas etnis. Di lereng Merapi ada Jawa, di kaki Leuser ada Gayo dan Alas, di sekitar Latimojong ada Toraja dan Bugis, di Kelimutu ada Ende, Lio, dan Ngada. Mereka semua berbeda suku, bahasa, dan agama, tapi sepakat soal satu hal: kalau gunung marah, semua harus gotong royong menenangkan.
Gunung, dalam arti yang sederhana tapi dalam, adalah pemersatu bangsa. Tak peduli kamu Sufi, pecinta kopi, atau penggemar selfie. Kalau lahar turun, semua sepakat lari ke arah yang sama. Gunung punya cara mendidik manusia agar kompak tanpa seminar toleransi.
Di Indonesia, gunung itu bukan benda mati. Ia bagian dari kehidupan sosial dan spiritual. Di lereng Merapi, masyarakat masih melaksanakan Labuhan sebagai bentuk hormat pada alam. Di Sulawesi, Bawakaraeng dianggap tempat ujian moral manusia. Di NTT, danau tiga warna di puncak Kelimutu dipercaya sebagai media leluhur menyampaikan pesan.
Namun bahasa modern datang membawa diksi baru: hektar, izin, investasi, optimalisasi. Gunung yang dulu dilindungi kini dihitung sebagai aset produksi. Ritualnya bukan lagi Labuhan, melainkan launching proyek.
Ternyata Gunung Punya Strata
Seperti manusia, gunung pun punya kelas sosial. Ada gunung “tersohor” seperti Merapi, Semeru, dan Sinabung. Mereka selalu diawasi, dapat pos pantau, masuk berita tiap minggu. Ada gunung “hidden gems” seperti Sindoro, Lawu, atau Rinjani. Gunung ini kadang diingat kalau musim pendakian, dilupakan begitu tiket habis.
Dan ada gunung “kelas bawah” yang merujuk gunung kecil di timur Indonesia, di pulau-pulau yang tidak punya pos pengamatan, bahkan tidak punya nama di peta resmi. Mereka jarang diperhatikan, kecuali kalau tiba-tiba longsor menelan desa.
Kata Antropolog, Undang-Undang Itu Sakti Punya Agensi
Nah, di sinilah Antropolog Bruno Latour masuk panggung. Ia bilang, benda-benda non-manusia—termasuk undang-undang, dokumen, dan surat izin—punya agensi. Artinya, mereka bukan benda pasif, tapi ikut menentukan jalannya dunia. Bayangkan satu surat izin tambang: selembar kertas itu bisa mengubah aliran air di hulu, menggusur sarang burung di lereng, memengaruhi suhu tanah, bahkan nasib para petani di bawah.
Dalam bayangan lebay penulis, surat izin tadi seperti infinity stone dalam film (Avengers) Marvel. Sama-sama bisa melenyapkan setengah kehidupan. Bedanya, yang satu dipegang Thanos, yang lain ditandatangani pejabat.
Itulah kenapa Latour bilang, benda-benda non-manusia kadang lebih berkuasa dari menteri. Hukum dan kebijakan ternyata bukan hanya alat manusia, tapi bagian dari ekologi juga. Ia bekerja seperti akar yang mengatur aliran energi kehidupan. Masalahnya, akar ini kadang tumbuh ke arah yang salah: menancap di perut bumi, tapi buahnya jatuh ke rekening pribadi.
Bukan Drakor atau Dracin, Tapi Dragun: Drama Gunung
Gunung-gunung kini tak hanya berhadapan dengan iklim ekstrem, tapi juga dengan manusia yang ekstrem dalam menafsirkan pembangunan. Lihat saja Gunung Gede-Pangrango di Jawa Barat. Longsor besar pada Maret 2025 ternyata bukan cuma akibat hujan, tapi akibat terlalu banyak pembukaan lahan glamping dan wisata.
Di Aceh dan Sumatera Utara, kawasan Gunung Leuser terus menyusut untuk sawit. Di Papua, Puncak Jaya—satu-satunya gunung bersalju di tropis—kini kehilangan lebih dari 90 persen lapisan esnya dalam 50 tahun terakhir.
Tapi di tengah semua itu, masyarakat lereng tetap berusaha hidup rukun. Mereka tahu, perbedaan suku dan agama tak berarti banyak kalau sama-sama harus berebut air bersih. Namun, ketika kebijakan pembangunan melahirkan ketimpangan, solidaritas itu bisa saja mulai dikesampingkan.
Refleksi Hari Gunung
Hari Gunung Sedunia seharusnya bukan hanya ajang pamer foto sunrise di Instagram.
Tapi kesempatan untuk refleksi tentang siapa yang benar-benar “mendaki”. Sebab yang naik ke gunung sekarang bukan cuma pendaki, tapi juga kepentingan dan regulasi.
Kalau gunung punya email, mungkin ia akan menulis ke Kementerian tanggal 11 Desember:
“Terima kasih atas ucapan Hari Gunung-nya, tapi tolong, cukup kirim doa, jangan kirim izin baru.”
Karena kadang, bencana bukan turun dari langit. tapi dari keputusan para elit.

