Belajar untuk Memaafkan dan Coba Percaya Lagi
SANTAIREKOMENDASILIPUTAN
Lekmin Joko
7/7/20254 min baca


Pekalongan, 6 Juli 2025 – Sebagai mahasiswa sedikit baru di UIN K.H. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disingkat UIN Gus Dur Pekalongan, semuanya masih terasa asing tapi juga begitu menarik. Aku masih dalam tahap mencari arah, mencoba memahami dunia kampus, dan jujur—sangat penasaran dengan hal-hal baru. Maka, saat mendengar bahwa HMPS Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) mengadakan rangkaian acara besar bernama COUNSEPHORIA 2025, aku langsung tertarik. COUNSEPHORIA, nama yang unik dan catchy—campuran antara Counseling dan Euphoria—menimbulkan kesan berbeda dari acara biasanya.
"COUNSEPHORIA ini acara terbesar pertama kami, digelar dari akhir Mei hingga awal Juli 2025, dimulai dengan Lomba Poster dan Lomba Video Penyuluhan, Bakti Sosial kunjungan ke panti asuhan, dan puncaknya Seminar Nasional ini," jelas Erfa Noni Lutfiani sebagai SC kegiatan ini sekaligus ketua HMPS Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN Gus Dur Pekalongan. "Acara ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental, terutama di kalangan mahasiswa dan pelajar. Temanya, 'Empowering Mental Health Awareness for a Better Future', terasa relevan banget di tengah tekanan hidup yang makin rumit," imbuhnya.
Rangkaian kegiatan ini pun segera menarik perhatianku. Sebagai mahasiswa sedikit baru yang masih mencari jati diri, aku merasa ini seperti undangan untuk mengenal diriku lebih dalam. Apalagi acaranya nggak cuma seminar, tapi juga ada lomba poster dan video penyuluhan dengan tema “Keterputusasaan di Balik Koneksi”—jujur, bikin aku mikir. Di era medsos, kita kelihatan selalu terhubung, tapi nyatanya banyak yang justru merasa sendirian. Aku jadi ikut menonton karya-karya peserta, dan dari situ aku mulai sadar: visual bisa jadi medium atau perantara yang kuat untuk menyampaikan keresahan.
Tak hanya lomba, aspek pelayanan masyarakat dalam COUNSEPHORIA juga menyentuh. Yang paling menginspirasi buatku adalah kegiatan sosial yang mereka lakukan tanggal 24 Juni 2025 kemarin, saat mereka mengunjungi Desa Werdi di Paninggaran dan dua panti asuhan. Di sinilah aku mulai memahami bahwa kesehatan mental bukan cuma soal diri sendiri, tapi juga soal bagaimana kita hadir untuk orang lain. Aku memang belum sempat ikut langsung, tapi mendengar cerita dari teman-teman yang ikut berbagi kebahagiaan di sana membuatku ingin terlibat di kegiatan sosial selanjutnya.
Puncak dari seluruh rangkaian pun tiba, acara yang paling aku tunggu: Seminar Nasional tanggal 6 Juli 2025 dengan tema “Trauma and Trust Issues about Relationship”. Mungkin karena aku juga punya banyak pertanyaan tentang relasi, kepercayaan, dan luka masa lalu, seminar ini terasa sangat personal. Para pembicara membahas trauma dengan cara yang ringan tapi tetap dalam. Kami juga diajak praktik mindfulness—menarik banget! Pertama kalinya aku benar-benar duduk diam, tarik napas pelan, dan mengenal perasaanku sendiri.
Pengalaman di seminar itu benar-benar membuka mata. Sejak awal, suasana kegiatan terasa nyaman, dipandu dengan epik oleh Kak Linda Rahmanita, narasumber ibu dosen Izza Himawanti dan kak Nessia Ragil membahas trauma secara empatik, ikut mendengarkan curhatan kami dengan seksama, tapi bukan menghakimi. Tapi bagian paling membekas buat aku adalah ketika aku baru sadar, selama ini aku terlalu sering berada di kepala sendiri—terjebak antara rasa takut disakiti dan kenangan masa lalu. Padahal, lewat mindfulness, aku belajar hadir utuh di momen sekarang. Menyadari rasa sakit, tapi juga memberi ruang bagi diri untuk sembuh.
Pembelajaran itu terus berlanjut membentuk pemahaman baru. Diskusi ini tidak sekadar membuat aku tahu apa itu trust issues, tapi juga mengajarkan cara menanganinya. Bukan dengan melupakan masa lalu, tapi dengan menyadarinya, menerimanya, dan melepaskannya secara perlahan. Dengan begitu, aku mulai percaya, mungkin aku bisa belajar untuk memaafkan dan coba percaya lagi—dengan cara yang lebih sadar.
Perasaan itu ternyata juga dirasakan banyak peserta lain. Selama acara berlangsung, aku merasa tidak sendiri. Banyak teman seangkatanku yang juga datang dengan rasa penasaran yang sama. Kami belajar bahwa trust issues bukan kelemahan, dan bahwa setiap orang bisa belajar mencintai lagi—termasuk diri sendiri. Rasanya, COUNSEPHORIA jadi titik balik bagiku untuk mulai peduli pada hal-hal yang selama ini kuabaikan: kesehatan mental dan kebermaknaan relasi.
Transformasi pemahaman ini bahkan terjadi pada peserta yang awalnya tak berniat serius, tapi setelah datang mereka baru sadar pentingnya acara ini. "Sebenarnya aku ikut temen, diajak temen, kesini, tapi ternyata Subhanallah, Masya Allah, kegiatannya sangat bagus sekali," kata temenku Diah Ayuni - Prodi Tasawuf dan Psikoterapi, saat kutanya alasan dia ikut seminar nasional ini. "Kadang kan temen yang curhat mengalami hal yang sama, jadi bisa memberikan saran atau kita belajar bersama untuk mencari solusinya," lanjutnya.
Kini, aku melihat acara ini dengan makna yang lebih dalam. COUNSEPHORIA 2025 bukan sekadar acara kampus. Bagi aku, ini adalah ruang awal untuk mengenal dunia kampus yang lebih manusiawi—penuh empati, refleksi, dan kepedulian. Aku bangga bisa menjadi bagian kecil dari atmosfer ini, dan aku harap acara seperti ini terus ada. Karena generasi muda butuh ruang untuk jujur, bertumbuh, dan belajar hadir, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.







