Belajar Bersama Museum Batik Pekalongan: Pelatihan Pewarna Alam Indigofera bersama Zahir Widadi
SANTAIREKOMENDASILIPUTAN
Lek Min
10/12/20255 min baca


Pekalongan, 12 Oktober 2025 – Bulan Oktober bukan bulan biasa untuk Kota Pekalongan yang juga dikenal sebagai Kota Batik Dunia. Hari Batik Nasional di Indonesia diperingati setiap 2 Oktober sebagai bentuk penghormatan terhadap batik sebagai warisan budaya tak benda (Intangible Cultural Heritage) yang diakui oleh UNESCO. Pengakuan ini ditetapkan pada sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah UNESCO tentang Warisan Budaya Tak benda (Intangible Cultural Heritage) yang berlangsung di Abu Dhabi pada 2 Oktober 2009. Sejak saat itulah, batik semakin dikenal dunia internasional dan menjadi simbol identitas yang membanggakan bagi bangsa Indonesia.
Sebagai peringatan Hari Batik Nasional 2025, Museum Batik Pekalongan tahun ini juga menyelenggarakan berbagai rangkaian kegiatan seru seperti, gratis masuk museum, lomba membatik, lomba nyolet, Talkshow, Diskusi dan nyolet kain 13 meter bersama 130 teman difabel dan berbagai elemen masyarakat sebagai simbolis 13 tahun berdirinya Museum Batik Pekalongan. Selain itu juga masih ada Pelatihan pembuatan malam dan pelatihan pewarna alam.
Rangkaian kegiatan Museum Batik Pekalongan semuanya menarik, namun aku salfok dengan Pelatihan Pewarna Alam yang akan dipandu langsung oleh pak Zahir Widadi. Beliau bukanlah sosok biasa, pernah menjadi kepala Museum Batik Pekalongan, dosen jurusan batik pertama di Pekalongan dan spesialis pewarna alam Indigofera yang sudah menjadi rujukan dari lokal, nasional sampai mancanegara. mohon maaf mungkin aku ulas tentang pak Zahir kapan-kapan ya.
Sosok pak Zahir bukan hanya omon-omon belaka, belum ada sejam kuota peserta sudah soldout. Perasaan agak campur aduk saat itu, sedih karena tidak mendapat kesempatan, namun satu sisi senang karena ternyata masih banyak lho yang antusias dan tertarik mendalami pewarna alami diatara gempuran pewarna sintetis dengan makin macam warnanya, selain mahasiswa jurusan batik, hehe.
Singkat cerita dengan usaha yang tidak mengkhianati hasil, aku berhasil mendapatkan kesempatan ikut pelatihan. Pelatihan Pewarna Alam menggunakan Indigofera pada 10-11 Oktober 2025 lalu ini telah terkonfirmasi oleh panitia sekitar ada 40 peserta yang hadir. Acara yang diikuti dari berbagai latar belakang yang mayoritasya anak muda (hanya ada 2 orangtua) dari tingkat SMA, mahasiswa sampai umum ini bertujuan untuk mengenalkan sekaligus mengampanyekan praktik membatik dengan pewarnaan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan ke anak muda Pekalongan, sebagai salah satu opsi solusi atas permasalahan limbah warna tekstil di Kota Pekalongan.
"Kota Pekalongan sudah sejak puluhan tahun menjadi rujukan orang luar kota dan mancanegara untuk belajar terkait batik dan pewarnannya, jangan sampai orang Pekalongan sendiri dengan kemudahan akses yang hanya tinggal naik motor untuk mendapat apapun terkait batik dan pewarnaan tapi malah tidak dapat ilmu pengetahuan ini." Ujar pak Zahir ketika ditanya kenapa akhirnya mau melatih orang Pekalongan.
"Saya lahir dan besar dari Museum ini, oleh karena itu saya ingin mengembalikkan semuanya lagi ke Museum. Peringatan Hari Batik Nasional kali ini menjadi momentum bagus untuk mendekatkan Museum ke semua kalangan masyarakat. Museum ini milik semua orang, tidak hanya untuk pelancong luar, tapi juga untuk orang Pekalongan sendiri. Nanti kita disini tidak hanya belajar sejarah, dan materi pewarna Indigo, tapi kita akan langsung praktek ya. Tidak ada yang boleh pulang sebelum tangan kalian kotor, hehe," lanjut pak Zahir.
Pelatihan ini tidak hanya sekadar teori, tetapi merupakan aksi nyata dari Museum Batik Pekalongan untuk menjawab tantangan pencemaran sungai akibat limbah batik dan pencucian jeans yang selama ini menjadi momok. Dengan semangat "Batik Membumi, Generasi Peduli", peserta diajak untuk kembali ke akar budaya dengan memanfaatkan tanaman Indigofera sebagai sumber warna biru alami yang indah, tidak beracun dan ramah lingkungan.
"Mungkin kota lain boleh tidak merayakan Hari Batik Nasional, tapi tidak untuk Kota Pekalongan. Walaupun dengan kendala tidak terduga, kami tetap berusaha dengan sekuat tenaga untuk menyelenggarakan rangkaian kegiatan ini, karena Kota Pekalongan itu Api Pertama dari obor estafet panjang sejarah Hari Batik Nasional. Api kita tidak boleh redup apalagi sampai padam," jawaban ibu Nurhayati Sinaga, Kepala Museum Batik Pekalongan saat ditanya kenapa Kota Pekalongan harus selalu memperingati Hari Batik Nasional.
“Baru tahun ini kami membuat pelatihan yang tidak biasa, membuat malam dan pewarnaan indigo, apalagi pesertanya kebanyakan anak muda. Kami percaya warisan budaya batik harus berjalan seiring dengan kelestarian alam. Melihat antusiasme dan semangat para peserta muda dalam menggali ilmu pewarnaan alami ini, kami optimis ada harapan besar untuk masa depan batik dan sungai di Pekalongan yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Ini adalah langkah awal dari gerakan yang lebih besar,” lanjut bu Nur terkait alasan membuat pelatihan ini.
Selama dua hari, peserta tidak hanya diajarkan teori ekstraksi warna biru dari daun Indigofera, tetapi juga praktik langsung dari menakar air secara kelompok untuk membuat larutan campuran awal pewarnaan, merebus, memilih membuat pola pada kain dengan teknik shibori (jumputan) atau cap batik, melakukan pencelupan berulang kali beserta penjemurannya. Hasilnya adalah sejumlah karya kain dengan motif unik dengan nuansa biru alami yang memukau, yang boleh dibawa pulang oleh masing-masing peserta sebagai bukti nyata bahwa warna alami tidak kalah cantiknya dengan zat kimia sintetis.
Salah satu peserta, Anggita dan Anggun, Mahasiswa semester 1 jurusan Kriya Batik Universitas Pekalongan mengungkapkan kegembiraannya, “Sangat seru, karena baru kali ini aku bisa membuat pewarna alam dari awal sampai akhir, dan apalagi juga bisa dapat teman baru." Ungkap Anggun. "Menyenangkan bisa langsung belajar dengan dosen kami pak Zahir, tidak hanya belajar materi seperti biasa di kelas, tapi bisa langsung praktek. sekalian mengisi waktu luang juga sih," lanjut Anggita.
"Harapannya, setelah pelatihan ini ilmunya bisa kami praktek secara mandiri, sekalian mengajak teman lain juga biar ikutan," sambung Anggun saat ditanya harapan setelah mengikuti pelatihan ini. "Pengennya sih pewarna alam ini semakin banyak diminati pengusaha batik di Kota Pekalongan agar bisa mengurangi pencemaran limbah juga," lanjut Anggita.
Acara yang berlangsung sangat interaktif dan penuh semangat kolaboratif ini diharapkan dapat menjadi pemantik bagi lahirnya lebih banyak lagi praktisi dan pelaku industri batik pewarna alami yang mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan. Museum Batik Pekalongan berkomitmen untuk terus menjadi pusat edukasi yang tidak hanya melestarikan warisan masa lalu, tetapi juga memimpin perubahan untuk masa depan yang lebih hijau.















